Jaga Kualitas Suara, Benamkan Kepala di Air
https://banyuwanginews1.blogspot.com/2017/05/jaga-kualitas-suara-benamkan-kepala-di.html
JAM tangan sudah menunjukkan pukul 10.40. Seorang lelaki dengan
mengenakan sarung dan baju koko berwarna putih tampak berjalan dengan
cukup hati-hati. Tangan kanannya memegang sebuah tongkat, kedua matanya
terbungkus kacamata hitam.
Sementara tangan kirinya meraba-raba di sekelilingnya. Lelaki muda itu
adalah Nanang Qosim, penyandang tuna netra warga Dusun Labansukadi,
Desa Labanasem, Kabat. Meski kedua matanya tidak lagi bisa melihat
dengan normal, Nanang masih mampu berjalan kaki menuju masjid di sekitar
rumahnya.
Tongkat di tangan kanan seolah menunjukkan arah menuju Masjid Baitul
Muttaqin yang berjarak sekitar 100 meter dengan melewati gang-gang
sempit perkampungan padat penduduk. Dengan tegap dan tenang, Nanang
akhirnya sampai di pintu gerbang samping masjid.
Begitu sampai di serambi masjid, Nanang
meletakkan kopiah dan melinting kain di lengannya. Sejurus kemudian,
Nanang berjalan menuju tempat bersuci mengambil air wudlu yang terletak
di depan masjid. “Saya sudah terbiasa dan hafal, jadi tidak perlu alat
bantuan. Cukup dengan hitungan kaki saja,” ungkap Nanang.
Usai wudhu, anak tunggal pasangan
suami-istri Jubaidi, 53, dan Sumaiyah, 50, kembali mengenakan kopiah dan
masuk ke dalam masjid. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.17. Dia
langsung mengambil sebuah microphone dan mulai melantunkan salawat
tarhim.
Jika di masjid dan musala pada umumnya
selawat tarhim diputar menggunakan kaset atau video compact disc (VCD) .
Tapi di masjid kebanggaan warga Labansukadi itu sudah tak berlaku
karena setiap saat Nanang dengan sukarela melantunkan salawat tarhim
secara langsung melalui pengeras suara.
Lantunan suaranya cukup lantang, merdu,
melengking dan nyaring terdengar. Suara itu bagi warga setempat sudah
tak asing lagi. Karena sejak belasan tahun silam, suara tersebut sudah
sangat akrab di telinga warga.
Sejak kehadiran Nanang, suasana Masjid
Baitul Muttaqin sudah tak sepi lagi. Merdu suara Nanang Qosim sangat
mewarnai kemakmuran masjid. Nanang mengaku, sudah mulai adzan di masjid
dekat rumahnmya sejak lulus dari sekolah dasar (SD).
Ketika itu penglihatannya masih cukup
terlihat. Namun, kini seiring berjalannya waktu penglihatannya sudah
nyaris gelap tak kelihatan apapun. Sejak SD itu, dia sudah memilih dan
menekuni menjadi muazin. Mengenai jenis nada adzan itu dia pelajari
secara otodidak. Termasuk, dia juga mulai belajar qiro`ah melantunkan
bacaan ayat-ayat suci Alquran.
“Kalau baca Alquran tidak bisa, hanya
mendengarkan secara langsung dari teman saya dan kaset lalu saya tirukan
hingga hafal. Setelah hafal, baru kembali saya bacakan di depan ustadz
saya,” ungkap Nanang.
Jika bacaannya sudah betul mengenai
makhorijol huruf dan panjang pendek bacaannya, barulah dia berani
mempratikan langsung dengan pengeras suara. Jika masih terdapat
kesalahan, dia berupaya untuk belajar membetulkan bacaan tersebut hingga
benar dan baik.
Untuk bisa menghafal salawat tarhim,
Nanang mengaku membutuhkan waktu 2,5 tahun. Menghafal salawat tarhim
memang tidak mudah, butuh perjuangan dan kerja keras. Agar kualitas
suaranya terjaga, dia mempunyai trik dan jurus tersendiri.
Caranya yakni menyelupkan bagian kepala
ke dalam kolam (bak) air sambil berteriak sekuat tenaga selama 1,5
menit. Metode itu dinilai dapat menciptakan kualitas suara dan napas
yang kuat.
Sebelum melantunkan salawat tarhim,
adzan, maupun membaca Alquran saat qiro`ah, diupayakan satu jam
sebelumnya tidak makan atau minum. “Pokoknya kondisi perut harus posisi
kosong, agar napas lebih kuat dan suara lebih lantang,” katanya.
Karena sudah menjadi muadzin di Masjid
Baitul Muttaqin itu, dia juga mempunyai cara agar warga dan jamaah yang
mendengarkan tidak bosan. Setiap harinya, nada lantunan adzan yang
dilantunkan berbeda-beda.
Yang paling berat menurutnya adalah
adzan di hari Kamis dan Jumat. Karena di hari itu, nada intonasi adzan
harus tinggi dan melengking. Praktis, kondisi itu baginya sangat
menguras suara. Apalagi saat puasa Ramadan.
Pantangan menjadi qori’ dan muadzin
baginya adalah tidak makan dan minum sembarangan. Sehingga harus
benar-benar menjaga pola makan dan minum setiap hannya. Bahkan, salah
satu minuman yang jadi pantangannya adalah es dan wedang jahe.
Merdu suaranya dalam melantunkan
ayat-ayat suci Alquran dan adzan juga membawa berkah. Dalam setiap
kesempatan, dia diundang oleh takmir masjid di lain desa dan kecamatan
untuk melantunkan salawat tarhim dan adzan. Serta dalam acara peringatan
hari besar Islam, juga kerap di undang untuk menjadi qori’.
“Kalau diundang ke lain desa syaratnya
hanya satu pokok harus dijemput dan dihantarkan pulang kembali,”
jelasnya. Nanang berharap bisa melantunkan panggilan salat itu di
Masjid Raya Al-Akbar Surabaya.
Usaha itu pernah dia coba dengan datang
langsung ke Surabaya. Sayang, sesampainya di Masjid Raya Al-Akbar
Surabaya itu dia justru ditolak dan tidak diberikan izin menjadi
muadzin. “Saya sangat kecewa, semoga lain waktu saya bisa datang kembali
ke Masjid Raya Al-Akbar Surabaya dan adzan di sana,” harapnya.
Tidak hanya itu, setelah menguasai
selawat tarhim, kini dia juga berkeinginan bisa rekaman. Sehingga, suara
salawat tarhim yang dilantunkannya itu bisa diputar di masjid-masjid
dan musala-musala. “Kemampuan saya hanya ini dan saya ingin menjadi
orang yang bertnanfaat dengan jalan ini,” tandasnya.
Kemampuan Nanang Qosim itu juga mendapat
apresiasi dari Ketua Takmir Masjid Baitul Muttaqim Burhadi, 64. Nanang
Qosim mampu menjadi warna remaja dan pemuda di kampungnya untuk giat
beribadah. Tidak hanya salat lima waktu, akan tetapi dalam setiap
kegiatan seni Islami seperti hadrah dan kegiatan lainnya.
“Semoga adik Nanang ini motivasi anak muda yang kini mulai enggan menjalankan ibadah salat jamaah di masjid,” harapnya. (radar)
Posting Komentar