Tak Punya Ambulans, Pasien Diangkut Becak
https://banyuwanginews1.blogspot.com/2017/05/tak-punya-ambulans-pasien-diangkut-becak.html
TIDAK mudah bagi masyarakat awam untuk bisa sembarangan masuk ke dalam
Lapas Banyuwangi. Penjagaan di Lapas kelas ll-B tersebut sangat ketat.
Saat berusaha masuk, pintu berukuran besar sebagai akses utama menuju ke
dalam harus dilawan.
Sebuah bel elektrik di bagian pojok, menjadi password awal untuk bisa
masuk lapas. Setelah bel dipencet, tidak lama petugas akan membuka
jendela mini yang ada di pintu. Di sana, proses identifikasi awal
dilakukan petugas, termasuk menanyakan apa keperluan masuk ke Lapas.
Bila lolos sesi ini, maka akses lanjutan pun bisa mulus. Pintu besar di
buka dan tamu dipersilahkan masuk. Bila tidak diizinkan jangan harap
bisa masuk lebih jauh ke dalam Tidak terkecuali saat Jawa
Identifikasi awal super ketat juga
dilakukan terhadap siapa saja. Saya bersyukur tahap awal ini berhasil
dilalui. Begitu diizinkan melewati gerbang utama, pemeriksaan berlaniut
dan lebih ketat.
Hanphone dan barang bawaan lainnya yang
dilarang tidak boleh dibawa masu. Kartu tamu berwarna merah dengan nomor
pun diberikan sebagai tanda yang membedakan dengan penghuni dan petugas
lapas.
Lolos pemeriksaan sesi ini, barulah
pengunjung bisa menginjak ke dalam bagian utama lapas. Di sana sudah ada
Kepala Seksi Pembinaan Lapas Banyuwangi, Sunaryo yang sudah menungu.
Langkah lanjutan kemudian diarahkan ke bangunan klinik kesehatan yang
berada di sebelah aula utama. Bangunan layanan kesehatan ini menyatu
dengan bangunan lain di sana.
Sebagai sarana kesehatan di lapas
Banyuwangi, klinik kesehatan tersebut lumayan lega. Bangunan ini
memiliki ukuran leba 4 meter dan panjang 5 meter. Bangunan fisiknya
cukup terjaga dan terawat.
Dan yang terpenting sebagai ruang
pelayanan kesehatan, klinik ini cukup bersih dan mempunyai sirkulasi
udara yang memadai. Tidak ketinggalan, meski bernama klinik bangunan ini
juga tidak meninggalkan cirinya seperti bangunan lain, tetap dilengkapi
dengan jeruji besi. Operasionalnya pun mirip rumah sakit yakni buka 24
jam.
Klinik lapas juga memiliki sejumlah
peralatan pendukung medis yang memadai. Alat tekanan darah, tes
kolesterol dan darah, denyut jantung, hingga tabung dan selang oksigen.
Tampak pula beberapa peralatan lain disana.
Stok obat pun tersedia di klinik untuk
aneka ragam penyakit kategori ringan. Ranjang bagi pasien untuk
pemeriksaan juga ada. “Alat kami cukup lengkap,” kata Sunaryo. Tinggal
di dalam blok tahanan bukan alasan bagi penghuni lapas untuk tidak
menjangkau layanan ini.
Untuk bisa mendapat layanan medis,
penghuni cukup menyampaikan keluhan ke petugas soal penyakit yang di
deritanya. Petugas selanjutnya akan membawa pasien ke klinik untuk
menjalani pemeriksaan.
Tidak seperti lapas umumnya, keberadaan
sanitasi yang baik disini membuat penghuninya jarang mendapatkan masalah
dengan penyakit pencernaan seperti diare dan sebagainya. Kalau pun ada,
dari diagnosis yang dilakukan justru lebih banyak ari pola makan yang
keliru. Justru demam menjadi penyakit yang sering dikeluhkan oleh
penghuni lapas Banyuwangi .
Selain itu, klinik ini juga memiliki dua
unit pemeriksaan khusus untuk penderita HIV/ AIDS dan tuberkulosis
(TB). Seluruh tahanan yang baru masuk, wajib menjalani pemeriksaan
darah. Tujuannya untuk mengidentifikasi potensi terjangkit penyakit
tersebut.Upaya ini menjadi bagian langkah dan tindakan lanjutan bila
ditemukan potensi penyakit itu penghuni berstatus positif.
Sebagai petugas medis, klinik Lapas
dijaga oleh dua petugas kesehatan dengan status perawat. Petugas medis
juga merupakan sipir terlatih di bliang kesehatan. Mereka standby setiap
hari untuk memberikan layanan pemeriksaan kesehatan kepada warga binaan
lapas bila diperlukan. Temmasuk memeriksa kesehatan penghuni lapas yang
baru masuk tersebut.
Tersedianya tenaga kesehatan ini masih
dirasakan kurang, Klinik kesehatan lapas ini sejauh ini belum memiliki
dokter tetap. Hal inilah yang membuat layanan kesehatan yang diberikan
baru sebatas penanganan pertama atau mirip dengan pertolongan pertama
pada kecelakaan (P3K).
“Kalau mungkin ada dokter, klinik ini
bisa melakukan penanganan medis secara cepat. Pasiennya yaitu tahanan
bisa pakai BPJS di sini,” beber Sunaryo. Tidak adanya dokter di klinik,
membuat pihak lapas kesulitan untuk mematenkan praktik klinik tersebut.
Keberadaan dokter menjadi rencana lawas
dari awak Lapas untuk bisa memperoleh izin operasional klinik lapas
menjadi mandiri. Sejauh ini, kegiatan klinik menjadi satu bagian dari
kewajiban lapas memberikan layanan kesehatan bagi warga binaannya.
Selain nihil tenaga dokter, klinik ini
juga belum memiliki fasilitas kendaraan untuk rujukan pasien. Sejauh
ini, pasien yang mengeluh mengalami gangguan kesehatan akan diobservasi
lebih dulu di dalam klinik. Bila penyakitnya membutuhkan penanganan
lebih, pasien akan dirujuk ke rumah sakit.
Untuk sampai ke rumah sakit, klinik
tidak memiliki ambulans. Jadi selama ini, proses rujukan ke Rumah Sakit
pasien harus rela naik becak menuju Rumah Sakit. Bahkan bila ada, mobil
milik sipir akan menjadi ambulans dadakan menuju rumah sakit. “Ambulans
nggak ada. Pakai yang ada saja,” ujar Sunaryo. (radar)
Posting Komentar